Beranda | Artikel
Kupas Tuntas Hukum Gambar Makhluk Bernyawa (Bag.2)
Jumat, 3 April 2020

Baca pembahasan sebelumnya Kupas Tuntas Hukum Gambar Makhluk Bernyawa (Bag.1)

Hukum iqtina’ ash shurah (memanfaatkan gambar makhluk bernyawa)

Pada artikel sebelumnya telah dijelaskan tentang hukum menggambar makhluk bernyawa atau hukum tashwir. Hasil dari kegiatan tashwir adalah shurah. Lalu bagaimana hukum memanfaatkan shurah tersebut? Telah kami sebutkan penjelasan Imam An Nawawi bahwa terkadang gambar makhluk bernyawa itu boleh digunakan, namun yang menggambarnya tetap berdosa. Namun ada juga penggunaan gambar makhluk bernyawa yang dibolehkan.

Hukum asal pemanfaatan shurah

Pemanfaatan shurah (gambar makhluk bernyawa) baik yang 2 dimensi atau 3 dimensi (seperti patung dan semisalnya) hukum asalnya terlarang. Karena banyak sekali dalil-dalil yang menunjukkan keharamannya. Dari Abu Thalhah radhiallahu’anhu, bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

لَا تَدْخُلُ الْمَلَائِكَةُ بَيْتًا فِيهِ كَلْبٌ وَلَا صُورَةٌ

“Malaikat tidak masuk ke rumah yang di dalamnya terdapat anjing dan gambar makhluk bernyawa” (HR. Bukhari no.3225, Muslim no.2106).

Dalam hadits ini terdapat ancaman bagi orang yang memajang shurah di dalam rumah. Menunjukkan hal ini tidak diperbolehkan.

Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’anhu, ia berkata:

دَخَلَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم مَكَّةَ، وَحَوْلَ الكَعْبَةِ ثَلاَثُ مِائَةٍ وَسِتُّونَ نُصُبًا، فَجَعَلَ يَطْعُنُهَا بِعُودٍ فِي يَدِهِ، وَجَعَلَ يَقُولُ: “﴿ جَاءَ الحَقُّ وَزَهَقَ البَاطِلُ ﴾ [الإسراء: 81]”

“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam masuk ke kota Makkah. Ketika itu di sekitar Ka’bah ada 360 berhala. Maka beliau pun menghancurkan berhala-berhala tersebut dengan kayu yang ada di tangan beliau, sambil membaca ayat (yang artinya) : “telah datang al Haq dan telah hancur kebatilan” (QS. Al Isra’: 81)” (HR. Bukhari no.2478, Muslim no.1781).

Dalam hadits ini, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sendiri menghancurkan shurah berupa berhala dengan tangannya sendiri. Menunjukkan bahwa tidak boleh ada shurah walaupun tidak disembah. Ini juga dikuatkan oleh hadits dari Abul Hayyaj Al Asadi, ia mengatakan bahwa Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu berkata kepadanya,

أَلَا أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِي عَلَيْهِ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم؟ أَنْ لَا تَدَعَ تِمْثَالًا إِلَّا طَمَسْتَهُ وَلَا قَبْرًا مُشْرِفًا إِلَّا سَوَّيْتَهُ

“Mau engkau kuberi tugas yang dahulu Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam memberikan tugas tersebut kepadaku? Yaitu beliau bersabda kepadaku: hendaknya jangan engkau biarkan ada patung kecuali engkau hancurkan, dan jangan engkau biarkan ada kuburan yang ditinggikan, kecuali engkau ratakan” (HR. Muslim no. 969).

Baca Juga: Hukum Qunut Nazilah saat Terjadi Wabah

Rincian ulama tentang pemanfaatan shurah

Setelah kita mengetahui bahwa hukum asalnya terlarang memanfaatkan shurah, dan juga telah kita sebutkan ada pemanfaatan yang dibolehkan, maka pembahasan tentang iqtina’ (pemanfaatan) gambar makhluk bernyawa ini perlu kita rinci menjadi beberapa keadaan. Ini sebagaimana dijelaskan oleh seorang ulama fikih besar abad ini, Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah, yang ringkasnya adalah sebagai berikut:

Jenis pertama: shurah mujassamah, yaitu gambar yang terdapat anggota badannya lengkap, maka tidak boleh menggunakannya. Telah dinukil oleh Ibnul Arabi bahwa ulama ijma akan hal ini. Disebutkan dalam Fathul Baari (10/388) bahwa Ibnul Arabi mengatakan:

وهذا الإجماع محله في غير لعب البنات كما سأذكره في باب من صور صورة

“Ini (haramnya menggambar makhluk bernyawa) adalah ijma ulama, kecuali mainan anak perempuan sebagaimana yang akan saya sebutkan pada bab bentuk-bentuk gambar”.

Jenis kedua: shurah ghayru mujassamah, yaitu gambar yang berupa raqam (bagian-bagian dari anggota badan). Jenis ini dirinci lagi:

Pertama: gambar yang digantung untuk diagungkan. Seperti gambar raja, presiden, menteri, ulama, kyai, tokoh-tokoh dan semisalnya. Pemanfaatan seperti ini hukumnya haram karena termasuk ghuluw (pengkultusan) terhadap makhluk dan tasyabbuh (menyerupai) para penyembah berhala. Selain itu juga ini menjadi sarana menuju kesyirikan. Sebagaimana dalam hadits dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’anhu, ia berkata:

دَخَلَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم مَكَّةَ، وَحَوْلَ الكَعْبَةِ ثَلاَثُ مِائَةٍ وَسِتُّونَ نُصُبًا، فَجَعَلَ يَطْعُنُهَا بِعُودٍ فِي يَدِهِ، وَجَعَلَ يَقُولُ: “﴿ جَاءَ الحَقُّ وَزَهَقَ البَاطِلُ ﴾ [الإسراء: 81]”

“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam masuk ke kota Makkah. Ketika itu di sekitar Ka’bah ada 360 berhala. Maka beliau pun menghancurkan berhala-berhala tersebut dengan kayu yang ada di tangan beliau, sambil membaca ayat (yang artinya) : “telah datang al Haq dan telah hancur kebatilan” (QS. Al Isra’: 81)” (HR. Bukhari no.2478, Muslim no.1781).

Kedua: gambar yang digantung untuk dikenang. Semisal orang-orang yang menggantung gambar orang tuanya, anaknya, temannya, sahabatnya di ruangan mereka. Pemanfaatan seperti ini juga diharamkan karena dua alasan:

  1. Akan timbul keterikatan hati pada individu yang digantung gambarnya tersebut, dengan keterikatan yang kuat. Ini akan berpengaruh besar terhadap kecintaan seseorang kepada Allah dan Rasul-Nya serta syariat-Nya. Sehingga membagi rasa mahabbah (cinta) seseorang kepada Allah dan Rasul-Nya dengan cinta kepada makhluk. Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu mengatakan:

أَحْبِبْ حَبِيبَكَ هَوْنًا ما، عسى أن يكون بَغِيضَكَ يومًا ما، وأَبْغِضْ بَغِيضَكَ هَوْنًا ما عسى أن يكونَ حَبِيبَكَ يومًا ما

“Cintailah orang yang kau cintai sekadarnya, bisa jadi ia menjadi orang yang engkau benci suatu hari. Dan bencilah orang yang engkau benci sekadarnya, bisa jadi ia menjadi orang yang engkau cintai suatu hari” (HR. Al Bukhari dalam Al Adabul Mufrad no.992, dihasankan Al Albani dalam Shahih Al Adabul Mufrad).

  1. Terdapat hadits dalam Shahih Al Bukhari dari Abu Thalhah radhiallahu’anhu, ia berkata: aku mendengar Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

لَا تَدْخُلُ الْمَلَائِكَةُ بَيْتًا فِيهِ كَلْبٌ وَلَا صُورَةٌ

“Malaikat tidak masuk ke rumah yang di dalamnya terdapat anjing dan gambar makhluk bernyawa” (HR. Bukhari no.3225, Muslim no.2106).

Jenis ketiga: gambar tersebut digantung untuk hiasan dan aksesoris. Ini juga diharamkan berdasarkan hadits dari ‘Aisyah radhiallahu’anha:

قَدِمَ رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ مِن سَفَرٍ، وقدْ سَتَرْتُ بقِرَامٍ لي علَى سَهْوَةٍ لي فِيهَا تَمَاثِيلُ، فَلَمَّا رَآهُ رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ هَتَكَهُ وقالَ: أشَدُّ النَّاسِ عَذَابًا يَومَ القِيَامَةِ الَّذِينَ يُضَاهُونَ بخَلْقِ اللَّهِ قالَتْ: فَجَعَلْنَاهُ وِسَادَةً أوْ وِسَادَتَيْنِ

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pulang dari safar. Ketika itu aku menutup jendela rumah dengan qaram (tirai) yang bergambar (makhluk bernyawa). Ketika melihatnya, wajah Rasulullah berubah. Beliau bersabda: “wahai Aisyah orang yang paling keras adzabnya di hari kiamat adalah yang menandingi ciptaan Allah“. Lalu aku (Aisyah) memotong-motong tirai tersebut dan menjadikannya satu atau dua bantal” (HR. Bukhari no.5954, dan Muslim no.2107).

Demikian juga ‘Aisyah radhiallahu’anha mengatakan:

أنَّها اشْتَرَتْ نُمْرُقَةً فيها تَصاوِيرُ، فَقامَ النبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ بالبابِ فَلَمْ يَدْخُلْ، فَقُلتُ: أتُوبُ إلى اللَّهِ ممَّا أذْنَبْتُ، قالَ: ما هذِه النُّمْرُقَةُ قُلتُ: لِتَجْلِسَ عليها وتَوَسَّدَها، قالَ: إنَّ أصْحابَ هذِه الصُّوَرِ يُعَذَّبُونَ يَومَ القِيامَةِ، يُقالُ لهمْ: أحْيُوا ما خَلَقْتُمْ، وإنَّ المَلائِكَةَ لا تَدْخُلُ بَيْتًا فيه الصُّورَةُ

“‘Aisyah membeli numruqah (bantal yang digunakan untuk duduk) yang di sana ada gambar makhluk bernyawa. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika datang beliau di depan pintu dan tidak mau masuk ke dalam rumah. Maka aku (Aisyah) bertanya: “Wahai Rasulullah, aku bertaubat kepada Allah, dosa apa yang telah aku lakukan?”. Beliau bersabda: “Bantal apakah ini?”. ‘Aisyah menjawab: “Untuk tempat duduk anda atau anda jadikan sebagai bantal”. Beliau bersabda: “Sesungguhnya orang yang menggambar gambar ini akan disiksa pada hari Kiamat. Akan dikatakan kepada mereka: ‘Hidupkan gambar yang telah kalian buat’. Beliau bersabda: “Sesungguhnya Malaikat tidak akan masuk ke dalam rumah yang ada gambarnya”” (HR. Bukhari no. 5957).

Jenis keempat: gambar tersebut dihinakan. Seperti gambar yang ada di karpet atau di bantal. Atau gambar yang ada di bejana-bejana (gelas dan piring) atau alas makan, atau semisalnya. Imam An Nawawi menukil pendapat dari jumhur ulama dari kalangan sahabat dan tabi’in tentang bolehnya menggunakan gambar tersebut. Dan ini pendapat dari Sufyan Ats Tsauri, Malik, Abu Hanifah, Asy Syafi’i demikian juga pendapat mu’tamad dalam madzhab Hanabilah. Pendapat inilah yang sesuai dengan zahir hadits Aisyah tentang qaram (tirai) bergambar yang sudah disebutkan di atas. 

Adapun kompromi antara hadits qaram (yang membolehkan gambar di bantal) dengan hadits numruqah (yang melarang gambar di bantal) adalah bisa jadi gambar shurah yang ada pada hadits qaram adalah gambar yang terpotong-potong sehingga bukan lagi gambar yang mujassamah. Sedangkan gambar shurah yang ada pada hadits numruqah adalah gambar yang mujassamah.

Jenis kelima: gambar yang termasuk ‘umumul balwa yaitu perkara yang sulit berlepas diri darinya. Seperti gambar yang ada di majalah, koran, dan sebagian buku. Dan orang yang memanfaatkan hal-hal tersebut bukan menjadi gambarnya sebagai tujuan, bahkan ia benci pada gambar-gambar yang ada, namun ia butuh pada benda-benda tersebut (buku, majalan, koran, dst). Dan untuk menghilangkan gambar-gambar yang ada itu sulit sekali. Demikian juga gambar yang ada pada uang, berupa gambar raja atau gambar pejabat atau gambar para tokoh, yang ini terjadi di negeri-negeri Islam. Maka menurut saya, gambar yang jenis tidak mengapa dimanfaatkan. Karena Allah ta’ala tidak menjadikan kesulitan pada para hamba-Nya dan tidak membebani hamba-Nya sesuatu yang tidak dimampuinya.

(Diringkas, dengan beberapa penambahan, dari penjelasan beliau dalam Majmu Fatawa wa Rasail Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, 2/254).

Baca Juga: Hukum Menunda Pemakaman Jenazah

Beberapa bentuk pemanfaatan lain

  1. Dipajang di luar bangunan

Lima rincian yang dijelaskan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin di atas juga berlaku jika gambar makhluk bernyawa dipajang di luar ruangan, seperti pada spanduk, baliho, papan iklan, pamflet, dan semisalnya. Berdasarkan keumuman hadits dari Abul Hayyaj Al Asadi, ia mengatakan bahwa Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu berkata kepadanya,

أَلَا أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِي عَلَيْهِ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم؟ أَنْ لَا تَدَعَ تِمْثَالًا إِلَّا طَمَسْتَهُ وَلَا قَبْرًا مُشْرِفًا إِلَّا سَوَّيْتَهُ

“Mau engkau kuberi tugas yang dahulu Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam memberikan tugas tersebut kepadaku? Yaitu beliau bersabda kepadaku: hendaknya jangan engkau biarkan ada patung kecuali engkau hancurkan, dan jangan engkau biarkan ada kuburan yang ditinggikan, kecuali engkau ratakan” (HR. Muslim no. 969).

  1. Gambar pada pakaian

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin ditanya, “apa hukum memakai pakaian yang ada gambar makhluk bernyawanya“?

Beliau menjawab,

لا يجوز للإنسان أن يلبس ثياباً فيها صورة حيوان أو إنسان ، ولا يجوز أيضاً أن يلبس غترة أو شماغاً ، أو ما أشبه ذلك وفيه صورة إنسان أو حيوان ، وذلك لأن النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم ثبت عنه أنه قال : ( إن الملائكة لا تدخل بيتاً فيه صورة )

“Tidak boleh seseorang menggunakan pakaian yang ada gambar hewan atau gambar manusia. Tidak boleh juga menggunakan ghutrah atau syimagh atau semisalnya yang ada gambar manusia atau gambar hewan. Karena Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda dalam hadits yang shahih: “Malaikat tidak masuk ke rumah yang terdapat anjing dan gambar makhluk bernyawa”” (Majalah Ad Da’wah, 54/1756).

  1. Gambar pada mainan anak-anak

Para ulama memberikan kelonggaran untuk gambar yang ada pada mainan anak-anak. Mereka berdalil dengan hadits dari Aisyah radhiallahu’anha,ia berkata:

قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم مِنْ غَزْوَةِ تَبُوكَ أَوْ خَيْبَرَ، وَفِي سَهْوَتِهَا سِتْرٌ، فَهَبَّتْ رِيحٌ، فَكَشَفَتْ نَاحِيَةَ السِّتْرِ عَنْ بَنَاتٍ لِعَائِشَةَ لُعَبٍ، فَقَالَ: مَا هَذَا يَا عَائِشَةُ؟ قَالَتْ: بَنَاتِي. وَرَأَى بَيْنَهُنَّ فَرَسًا لَهَا جَنَاحَانِ مِنْ رِقَاعٍ، فَقَالَ: مَا هَذَا الَّذِي أَرَى وَسَطَهُنَّ؟ قَالَتْ: فَرَسٌ. قَالَ: وَمَا هَذَا الَّذِي عَلَيْهِ؟ قَالَتْ: جَنَاحَانِ. فَقَالَ: فَرَسٌ لَهُ جَنَاحَانِ؟ قَالَتْ: أَمَا سَمِعْت أَنَّ لِسُلَيْمَانَ خَيْلا لَهَا أَجْنِحَةٌ؟ قَالَتْ: فَضَحِكَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم حَتَّى رَأَيْت نَوَاجِذَهُ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam baru tiba dari perang Tabuk atau Khaibar. Ketika itu kamar ‘Aisyah ditutup dengan sebuah tirai. Ketika ada angin yang bertiup, tirai itu tersingkap hingga maina-mainan boneka ‘Aisyah terlihat. Beliau lalu bertanya: “Wahai ‘Aisyah, ini apa?”. ‘Aisyah menjawab, “Ini anak-anakku”. Lalu beliau juga melihat di antara mainan tersebut ada yang berbentuk kuda yang mempunyai dua sayap yang ditempelkan dari tambalan kain. Nabi lalu bertanya: “Lalu apa ini yang aku lihat di tengah-tengah?”. ‘Aisyah menjawab, “Ini kuda”. Nabi bertanya lagi: “Lalu apa yang ada di atas kuda tersebut?”. ‘Aisyah menjawab, “Ini dua sayapnya”. Nabi bertanya lagi: “Apakah kuda punya dua sayap?”. ‘Aisyah menjawab, “Tidakkah engkau pernah mendengar bahwa Nabi Sulaiman mempunyai kuda yang punya banyak sayap?”. ‘Aisyah lalu berkata, “Nabi lalu tertawa hingga aku dapat melihat giginya gerahamnya” (HR. Abu Daud no. 4932, dihasankan oleh Ibnu Hajar dalam Takhrij Al Misykah [3/304], dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abu Daud).

Dalam hadits ini, Aisyah yang ketika itu masih anak-anak memiliki mainan yang berbentuk manusia dan hewan, namun Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tidak melarangnya. Menunjukkan adanya kelonggaran untuk anak-anak dalam masalah gambar makhluk bernyawa. Dalam Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah (12/112) disebutkan,

وقد اسْتَثْنَى أَكْثَرُ الْعُلَمَاءِ مِنْ تَحْرِيمِ التَّصْوِيرِ وَصِنَاعَةِ التَّمَاثِيلِ صِنَاعَةَ لُعَبِ الْبَنَاتِ. وَهُوَ مَذْهَبُ الْمَالِكِيَّةِ وَالشَّافِعِيَّةِ وَالْحَنَابِلَةِ. وَقَدْ نَقَلَ الْقَاضِي عِيَاضٌ جَوَازَهُ عَنْ أَكْثَرِ الْعُلَمَاءِ

“Mayoritas ulama dalam pelarangan gambar makhluk bernyawa mengecualikan gambar dan patung untuk mainan anak-anak wanita. Ini merupakan pendapat madzhab Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah. Dan dinukil dari Al Qadhi ‘Iyadh bahwa pendapat yang membolehkan adalah pendapat jumhur ulama”.

  1. Foto pada kartu identitas

Gambar foto yang digunakan untuk bukti identitas, termasuk juga yang diberikan kelonggaran oleh para ulama. Seperti foto yang ada pada KTP, paspor, ijazah, atau semisalnya. Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts wal Ifta’ menjelaskan:

إذا اضطر إليه الإنسان لوضع الصورة في حفيظة نفوس أو جواز سفر أو استمارة اختبار أو إقامة أو نحو ذلك رخص له فيه بقدر الضرورة إن لم يجد مخلصاً من ذلك، وإن كان في وظيفة ولم يجد له بد منها أو كان عمله لمصلحة عامة لا تقوم إلا به رخص له فيه للضرورة; لقول الله عز وجل: {وَقَدْ فَصَّلَ لَكُم مَّا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلَّا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ}

“Jika ada kebutuhan yang mendesak bagi seseorang untuk menggunakan gambar pada kartu identitas, paspor, formulir tes, visa untuk menetap, atau semisalnya maka ada kelonggaran baginya untuk menggunakan gambar fotonya sebatas kadar darurat yang dibutuhkan. Jika memang tidak ada metode lain yang memungkinkan. Dan jika ia berada dalam sebuah tugas yang memang membutuhkan hal itu atau untuk kemaslahatan orang secara umum, yang tidak ada solusi lain, maka ada kelonggaran karena termasuk darurat. Berdasarkan firman Allah ta’ala (yang artinya): “Sungguh telah dijelaskan kepada kalian apa-apa yang diharamkan untuk kalian, kecuali apa-apa yang terpaksa melakukannya” (QS. Al An’am 119)” (Fatawa Al Lajnah Ad Daimah, 1/494).

  1. Gambar di komputer dan gadget

Gambar makhluk bernyawa yang tersimpan di komputer atau gadget hukumnya boleh dimanfaatkan selama tidak dicetak dan selama bukan gambar yang mengandung keharaman. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Munajjid mengatakan:

الصور التي على الجوال وفي أجهزة الحاسب ، وما يصور بالفيديو ، لا تأخذ حكم الصور الفوتوغرافية ، لعدم ثباتها ، وبقائها ، إلا أن تُخرج وتطبع ، وعليه فلا حرج في الاحتفاظ بها على الجوال ، ما لم تكن مشتملة على شيء محرم ، كما لو كانت صوراً لنساء

“Foto yang ada di HP atau di komputer, atau yang dibuat dengan video, tidak sama hukumnya dengan foto hasil jepretan kamera. Karena ia tidak tsabat (tetap) dan tidak baqa’ (selalu ada dzatnya). Kecuali jika di-print (dicetak). Oleh karena itu tidak mengapa menyimpannya di HP selama tidak mengandung perkara yang haram, seperti misalnya foto wanita” (Sumber: https://islamqa.info/ar/91356).

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin juga menjelaskan:

والصُّور بالطُّرُقِ الحديثة قسمان الأول : لا يَكُونُ له مَنْظَرٌ ولا مَشْهَد ولا مظهر ، كما ذُكِرَ لِي عن التصوير ، بِأَشرطة الفيديو ، فهذا لا حُكْمَ له إطلاقاً ، ولا يَدْخُل في التحريم مطلقاً ، ولهذا أجازه العلماء الذين يَمْنَعونَ التّصوير على الآلة الفوتوغرافية على الورق ، وقالوا : إن هذا لا بأس به القسم الثاني : التصوير الثابت على الورق

“Gambar itu ada dua macam:

Pertama, gambar yang tidak ada manzhar, atau masyhad, atau mazh-har (bentuk penampakan yang tetap) seperti pada foto (yang tercetak). Maka seperti gambar video, ini tidak bisa dihukumi boleh secara mutlak. Dan tidak bisa diharamkan secara mutlak. Oleh karena itu para ulama yang mengharamkan foto tetap membolehkan video. Mereka mengatakan ini tidak mengapa.

Kedua, foto yang sifatnya tetap, karena ada di kertas” (Syarhul Mumthi, 2/197).

Maka foto yang ada di komputer dan HP termasuk jenis gambar yang pertama ini, karena ia hanya ada dan terlihat ketika komputer / HP dinyalakan. Ketika dimatikan, ia tidak ada. Maka boleh menyimpan gambar atau foto makhluk bernyawa di HP atau komputer. Berbeda dengan jika gambar tersebut dicetak. Kebolehan menyimpan foto di HP atau komputer ini tentunya selama gambar tersebut adalah gambar yang mubah. Adapun jika mengandung keharaman maka hukumnya haram menyimpannya. Wallahu a’lam.

  1. Gambar wanita

Tidak diperbolehkan memanfaatkan gambar wanita baik dalam keadaan tercetak maupun tidak tercetak (semisal di internet dan media sosial) karena selain ia adalah gambar makhluk bernyawa juga gambar wanita adalah fitnah (godaan) yang besar bagi laki-laki.

Allah Ta’ala berfirman:

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)” (QS. Al Imran: 14).

Dari Usamah bin Zaid radhiallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

ما تَركتُ بَعدي فِتنَةً أضرَّ على الرجالِ منَ النساءِ

“Tidaklah ada sepeninggalku fitnah (cobaan) yang paling berbahaya bagi lelaki selain fitnah (cobaan) terhadap wanita” (HR. Al Bukhari 5096, Muslim 2740).

Maka tidak boleh memanfaatkan gambar wanita baik berhijab atau pun tidak berhijab karena ini besar fitnahnya, kecuali yang sifatnya darurat seperti foto pada KTP, paspor dan semisalnya. Gambar seorang wanita harus disembunyikan sebisa mungkin. Dalam sebuah hadits disebutkan,

أَنَّ عَلِيًّا ، قَالَ : سَأَلَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ شَيْءٍ قَالَ : ” أَيُّ شَيْءٍ خَيْرٌ لِلنِّسَاءِ ؟ ” فَلَمْ أَدْرِ مَا أَقُولُ ، فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِفَاطِمَةَ ، فَقَالَتْ : أَلا قُلْتَ لَهُ : خَيْرٌ لِلنِّسَاءِ أَنْ لا يَرَيْنَ الرِّجَالَ وَلا يَرَوْنَهُنَّ ، قَالَ : فَذَكَرْتُ قَوْلَ فَاطِمَةَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : ” إِنَّهَا بِضْعَةٌ مِنِّي رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا “

“Ali bin Abi Thalib berkata: Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘apa yang paling baik bagi wanita?’. Lalu Ali tidak tahu harus menjawab apa. Ia pun menceritakannya kepada Fathimah. Fathimah pun berkata: ‘katakanlah kepada beliau, yang paling baik bagi wanita adalah mereka tidak melihat para lelaki dan para lelaki tidak melihat mereka‘. Maka aku (Ali) sampaikan hal tersebut kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Lalu beliau bersabda: ‘sungguh Fathimah adalah bagian dari diriku, semoga Allah meridhainya‘” (HR. Ibnu Abid Dunya dalam Al ‘Iyal no. 409, semua perawinya tsiqah).

Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan hafizhahullah ditanya: “Apa hukum mengirimkan sebagian video yang ada faidah-faidah ilmunya, namun ada musik dan ada gambar wanitanya?”. Beliau menjawab: “Ini semua tidak baik, tidak boleh melakukannya. Dan kebaikan yang tidak mengandung itu semua, ada walhamdulillah” (https://www.youtube.com/watch?v=JGgDSPgXNec).

Syaikh Utsman Al Khamis hafizhahullah mengatakan: “Gambar-gambar itu sekarang banyak beredar di instagram, di twitter atau di facebook. Sebagian lelaki meng-upload foto wanita, dan sebagian wanita meng-upload foto dirinya sendiri. Terkadang mereka meng-upload fotonya sendiri dan terkadang mereka mencari foto orang lain (wanita).

Ini tidak diperbolehkan. Baik ia tidak berjilbab atau berjilbab. Tidak boleh wanita meng-upload foto dirinya seperti demikian. Laki-laki juga tidak boleh meng-upload foto wanita, dengan gaunnya yang sedemikian rupa, dengan hiasan-hiasannya yang sedemikian rupa, ini tidak diperbolehkan.

Wanita itu memfitnah lelaki. Seorang lelaki jangan menjadi seborang laab in terkena fitnah, dan wanita jangan menjadi sebab fitnah bagi orang lain. Maka hendaknya para wanita bertaqwa kepada Allah, demikian para lelaki dalam masalah ini” (https://www.youtube.com/watch?v=GwUSrn4fzqU).

Syaikh Sa’ad Asy Syatsri hafizhahullah ditanya: “Apa hukum wanita berhijab meng-upload foto mereka di media sosial?”. Beliau menjawab: “Tidak boleh wanita menampakkan keindahan mereka. Ini merupakan ijma ulama. Allah Ta’ala berfirman:

وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ

“janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka … ” (QS. An Nur: 31).

Ayat ini menunjukkan bahwa wanita dilarang menampakkan keindahan mereka. Dan para ulama ijma bahwa wanita tidak boleh mempercantik wajahnya di depan para lelaki non-mahram, demikian juga tidak boleh melakukan demikian ketika ia pergi keluar rumah jika ada lelaki yang akan melihatnya, ini merupakan ijma ulama” (https://www.youtube.com/watch?v=uOiLCjTxh44).

  1. Gambar pada buku pelajaran sekolah

Gambar makhluk bernyawa yang ada pada buku pelajaran sekolah, jika tidak ada kebutuhan mendesak untuk menggambarnya atau menggunakannya, maka termasuk pemanfaatan yang terlarang. Berdasarkan keumuman dalil-dalil.

Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya, “apa hukum Islam terkait gambar yang digambar di papan tulis dalam rangka sebagai media pembelajaran untuk menjelaskan bentuk-bentuk hewan, tumbuhan, binatang melata, yaitu pada pelajaran Biologi. Terkadang gambar-gambar ini penting sekali untuk media pembelajaran, dan gambarnya tidak utuh, karena pentingnya ilmu ini dalam bidang kedokteran dan farmasi”. Asy Syaikh menjawab,

ما كان من ذلك صورا لذوات الأرواح كالحشرات وسائر الأحياء فلا يجوز ولو كان رسما على السبورة والأوراق ولو كان القصد منه المساعدة على التعليم لعدم الضرورة إليه؛ لعموم الأدلة في ذلك، وما لم يكن من ذوات الأرواح جاز رسمه للتعليم .

“Selama itu adalah gambar makhluk bernyawa seperti binatang melata, dan semua makhluk hidup lainnya, maka tidak boleh digunakan, baik digambar di papan tulis maupun di buku pelajaran. Walaupun tujuannya adalah untuk media pembelajaran, karena ini bukan hal yang darurat. Berdasarkan keumuman dalil-dalil tentang masalah ini. Jika yang digambar bukanlah makhluk bernyawa maka boleh digunakan untuk media pembelajaran” (Fatawa Al Lajnah Ad Daimah, 1/472, no. 6572).

Ulama Al Lajnah Ad Daimah juga mengatakan,

تصوير ذوات الأرواح حرام مطلقا؛ لعموم الأحاديث التي وردت في ذلك وليست ضرورية للتوضيح في الدراسة، بل هي من الأمور الكمالية لزيادة الإيضاح، وهناك غيرها من وسائل الإيضاح يمكن الاستغناء بها عن الصور في تفهيم الطلاب والقراء، وقد مضى على الناس قرون وهم في غنى عنها في التعليم والإيضاح وصاروا مع ذلك أقوى منا علما وأكثر تحصيلا، وما ضرهم ترك الصور في دراستهم، ولا نقص من فهمهم لما أرادوا ولا من وقتهم وفلسفتهم في إدراك العلوم وتحصيلها، وعلى هذا لا يجوز لنا أن نرتكب ما حرم الله من التصوير لظننا أنه ضرورة

“Menggambar makhluk bernyawa haram secara mutlak, berdasarkan keumuman dalil-dalil yang ada dalam masalah ini. Dan ini bukan perkara yang mendesak sekali untuk menggunakan gambar dalam pembelajaran. Adanya gambar hanya perkara pendukung saja, untuk memperjelas pembahasan. Ada cara-cara lain untuk menjelaskan pelajaran. Dan sangat memungkinkan untuk memberikan penjelasan kepada para murid tanpa disertai gambar. Dan umat manusia generasi terdahulu telah melalui masa tanpa merasa butuh kepada gambar makhluk bernyawa dalam pembelajaran mereka dan dalam menjelaskan. Namun demikian pemahaman mereka lebih kuat daripada kita dan lebih banyak ilmunya daripada kita. Tidak adanya gambar sama sekali tidak membahayakan mereka dalam pembelajaran. Dan tidak berkurang sedikitpun pemahaman mereka untuk mengetahui apa yang diinginkan. Juga tidak mengurangi waktu mereka atau mengurangi perenungan mereka untuk meraih ilmu yang diinginkan. Oleh karena itu, tidak diperbolehkan kita melanggar yang Allah haramkan yaitu menggambar makhluk bernyawa, karena menurut kami itu tidak darurat” (Fatawa Al Lajnah Ad Daimah, no. 2677).

Maka, asalnya terlarang menggunakan gambar makhluk bernyawa untuk pembelajaran. Dan solusinya gunakanlah gambar-gambar yang tidak sempurna bentuknya untuk menjelaskan pelajaran. Sebagaimana telah dijelaskan kebolehan menggambar makhluk yang tidak sempurna.

Adapun gambar-gambar makhluk bernyawa yang ada di buku pelajaran, yang buku-buku ini dipilih oleh pemerintah, oleh sekolah atau oleh pengajar, yang kita tidak memiliki pilihan lain, maka ada kelonggaran untuk menggunakannya karena termasuk umumul balwa’ sebagaimana dijelaskan Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin. Wallahu a’lam.

Baca Juga: Hukum Orang Kafir Masuk Masjid

Penutup

Demikian penjelasan ringkas mengenai hukum menggambar dan memanfaatkan makhluk bernyawa. Kami nasehatkan diri kami sendiri dan para pembaca sekalian, walaupun sebagian gambar ada yang mubah untuk dimanfaatkan, namun hendaknya tidak terlalu bermudah-mudahan dalam masalah ini. Bersikap wara’ (hati-hati) itu lebih utama. Selama bisa menggunakan gambar-gambar makhluk yang tidak bernyawa, itu lebih diutamakan. Demikian juga tidak bermudah-mudah memfoto diri serta memanfaatkannya walaupun tujuannya mubah dan dalam bentuk yang mubah. Seandainya ada cara lain tanpa menggunakan foto, itu lebih utama.

Dari An Nu’man bin Basyir radhiallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

الحَلاَلُ بَيِّنٌ، وَالحَرَامُ بَيِّنٌ، وَبَيْنَهُمَا مُشَبَّهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ، فَمَنِ اتَّقَى المُشَبَّهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ: كَرَاعٍ يَرْعَى حَوْلَ الحِمَى، يُوشِكُ أَنْ يُوَاقِعَهُ

“Yang halal itu jelas, yang haram itu jelas. Diantaranya ada yang syubhat, yang tidak diketahui hukumnya oleh kebanyakan manusia. Barangsiapa menjauhi yang syubhat, ia telah menjaga kehormatan dan agamanya. Barangsiapa mendekati yang syubhat, sebagaimana pengembala di perbatasan. Hampir-hampir saja ia melewatinya” (HR. Bukhari 52, Muslim 1599)

Dari Shafiyyah radhiallahu’anha, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:

إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِي من ابْن آدم مجرى الدم

“Sesungguhnya setan ikut mengalir dalam darah manusia” (HR. Bukhari 7171, Muslim 2174)

Al Khathabi rahimahullah menjelaskan hadits dari Shafiyyah ini:

وَفِي هَذَا الْحَدِيثِ مِنَ الْعِلْمِ اسْتِحْبَابُ أَنْ يَحْذَرَ الإِنْسَانُ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ مِنَ الْمَكْرُوهِ مِمَّا تَجْرِي بِهِ الظُّنُونُ وَيَخْطُرُ بِالْقُلُوبِ وَأَنْ يَطْلُبَ السَّلامَةَ مِنَ النَّاسِ بِإِظْهَارِ الْبَرَاءَةِ مِنَ الرِّيَبِ

“Dalam hadits ini ada ilmu tentang dianjurkannya setiap manusia untuk menjauhi setiap hal yang makruh dan berbagai hal yang menyebabkan orang lain punya sangkaan dan praduga yang tidak tidak. Dan anjuran untuk mencari tindakan yang selamat dari prasangka yang tidak tidak dari orang lain dengan menampakkan perbuatan yang bebas dari hal hal yang mencurigakan” (Talbis Iblis, 1/33)

Lebih lagi, jika para da’i, aktifis dakwah, dan penuntut ilmu agama tidak layak bermudah-mudahan dalam masalah ini. Padahal mereka panutan masyarakat dan orang yang dianggap baik agamanya. Sejatinya, semakin bagus keislaman seseorang, dia akan semakin wara’. Dari Hudzaifah Ibnu Yaman radhiallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

فَضْلُ الْعِلْمِ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ فَضْلِ الْعِبَادَةِ، وَخَيْرُ دِينِكُمُ الْوَرَعُ

“Keutamaan dalam ilmu lebih disukai daripada keutamaan dalam ibadah. Dan keislaman kalian yang paling baik adalah sifat wara’” (HR. Al Hakim 314, Al Bazzar 2969, Ath Thabrani dalam Al Ausath no. 3960. Dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Targhib no.1740).

Umar bin Khattab radhiallahu’anhu berkata:

«إِنَّ الدِّينَ لَيْسَ بِالطَّنْطَنَةِ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ وَلَكِنَّ الدِّينَ الْوَرَعُ»

“Agama Islam itu bukanlah sekedar dengungan di akhir malam, namun Islam itu adalah bersikap wara’” (HR Ahmad dalam Az Zuhd, 664)

Semoga Allah ta’ala memberi taufik. Wallahu waliyyu dzalika wal qaadiru ‘alaihi.

Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala aalihi wa shahbihi wasallam.

Baca Juga:

**

Penulis: Yulian Purnama


Artikel asli: https://muslim.or.id/55601-kupas-tuntas-hukum-gambar-makhluk-bernyawa-bag-2.html